Berita  

5 Jam Dapat Rp250 Ribu, Dinsos Kota Jambi Ungkap Indikasi Jaringan Gepeng Tersistem

JAMBITODAY.CO.ID, JAMBI – Aktivitas penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS), semisal gelandangan dan pengemis (gepeng), di Kota Jambi mengalami peningkatan.

Kemarin, Dinas Sosial Kota Jambi menilai ada indikasi sistem terstruktur yang mengatur dunia pergepengan di Kota Jambi.

Kepala Bidang Rehabilitasi Sosial Dinas Sosial Kota Jambi, Rifki, menuturkan indikasi ke arah tersistem memang ada.

Hal tersebut berdasarkan hasil evaluasi dari penindakan terhadap pelaku PMKS yang telah dilakukan dinsos.

“Sebut saja untuk pengemis dengan modus orang buta (penyandang tunanetra; red). Dia tidak sendiri, selalu ada yang mendampingi atau menuntun,” tuturnya.

Rifki mengungkap contoh kasus waktu mengamankan satu dari mereka.

Tidak berselang lama, dalam sebuah penertiban, satu dari mereka tertangkap lagi, namun dengan pasangan atau penuntun yang berbeda.

“Kepada petugas, si penuntun mengaku dirinya hanya membantu sebagai tetangga. Ada juga yang mengatakan hanya disuruh. Dalam artian disuruh, bisa saja ada yang mengakomodir,” jelasnya.

“Bisa jadi ada sindikat di sini, seperti sudah tersistem. Parahnya, jumlah mereka terus bertambah di Kota Jambi ini,” sambung Rifki.

Jumlah bertambah

Dari hasil penindakan Dinsos Kota Jambi selama dua bulan terakhir, sudah sekira 30 orang gepeng diamankan.

Dari jumlah tersebut, hampir 89 persen bukan warga asli Kota Jambi, melainkan warga pendatang.

Rifki mengatakan fakta tersebut seakan memperkuat adanya indikasi dunia pergepengan terstruktur.

“Bisa saja mereka mengemis di Kota Jambi, namun di daerah asalnya atau di kampung halamannya hidup berkecukupan,” katanya

Contoh lainnya badut jalanan.

Rifki mengatakan satu set kostum yang dikenakan untuk beraksi harganya cukup mahal. Tentu, pelaku membutuhkan modal untuk mendapatkan itu.

“Berbagai spekulasi bisa saja, termasuk adanya pemodal. Misal pelaku pengamen badut tadi menyewa kostum dengan seseorang, atau lainnya bisa saja. Dalam artian ada pemodalnya,” tandasnya.

Kembali lagi

Rifki mengatakan persoalan gepeng atau PMKS berkembang menjadi permasalahan yang serius.

Dia menuturkan setiap kali mereka ditertibkan dan diberi pembinaan, tidak sedikit di antaranya yang memilih untuk kembali mengulangi aktivitas tersebut.

“Karena dari hasil penindakan dan pembinaan yang kita lakukan, alasan mereka melalui cara itulah yang paling gampang untuk mengumpulkan uang. Dan hasilnya juga cukup besar,” ujarnya.

Beralih profesi

Rifki memaparkan temuan menarik soal seseorang yang beralih profesi.

“Bayangkan saja, ada satu kasus yang sempat kita tangani. Dia ini dulunya tukang ojek, sekarang beralih menjadi gepeng. Alasannya satu, penghasilannya lebih besar, meskipun harga diri mereka terjual,” sambungnya.

Rifki menuturkan dalam hitungan jam, aktivitas pukul 16.00-21.00 WIB, mereka sudah bisa mendapatkan uang mencapai Rp250 ribu.

“Dibanding pekerjaannya yang lama, belum tentu dengan waktu yang terbilang singkat tadi bisa mendapatkan uang segitu,” ujarnya.

“Bagi sebagian orang memang cukup menggiurkan,” sebutnya.

Di sisi lain, masih ada budaya di masyarakat yang belum menyadari hal tersebut.

Masih mudah iba dan rasa kasihan, sehingga pelaku menilai kegiatan yang dilakukannya cukup menjanjikan jika dijadikan mata pencaharian.

Kondisi itu berbeda dengan kota-kota besar lain. Di sana masyarakatnya sudah sadar akan fenomena seperti itu.

Secara tidak langsung, dengan adanya kesadaran masyarakat, akan memutus rantai pendapatan para gepeng atau PMKS.

Meski demikian, pihaknya selalu melakukan upaya untuk menghilangkan aktivitas tersebut di Kota Jambi.

Di antaranya dengan meningkatkan patroli dan penindakan bersama tim gabungan ataupun patroli rutin. 

Cuma Puluhan Ribu

Beberapa orang PMKS mengungkapkan bagaimana mereka beraktivitas di Kota Jambi.

Seorang perempuan bernama Mak Dewi, pendatang yang baru setahun tinggal di Kota Jambi, menuturkan kesehariannya.

Dia merupakan “manusia gerobak” yang mencari barang rongsokan.

Dia mengaku tinggal di rumah kontrakan daerah Pasir Putih, Kota Jambi.

Di sekitar tempatnya, bukan hanya dia yang menjadi manusia gerobak. Ada banyak tetangganya juga melakukan hal sama.

Mak Dewi menceritakan temannya yang juga mencari barang rongsokan, bisa mendapatkan uang lebih dari sedekah orang karena membawa anak.

“Jadi teman-teman itu pada bawa anak. Jadi, mereka banyak dikasih orang, itulah kenapa penghasilan mereka besar,” ujarnya.

Sementara itu, Mak Dewi tidak membawa anak karena anaknya sudah besar-besar.

“Kalau seperti saya yang cuma mengandalkan mencari barang rongsokan ini, palingan banyak Rp25 ribu sehari, tapi setiap hari ada juga orang yang bersedekah,” katanya.

Sementara itu, Kentung PMKS yang kerap berada di Jalan DI Panjaitan, mengaku tidak memiliki tempat tinggal tetap di Jambi.

Dia dahulu tinggal menumpang orang yang berdomisili di sekitar Puncak.

Namun kini orang tersebut sudah pindah rumah, jadi dia tidak memiliki tempat tinggal tetap lagi.

Sehari-hari, remaja itu biasa tidur di depan ruko Jalan DI Panjaitan.

Untuk mendapatkan uang, dia biasanya menjadi tukang parkir di seputaran pasar Handil.

Pendapatanya tidak menentu, terkadang hanya cukup untuk makan saja. 

Kawasan Strategis

Aktivitas PMKS, semisal gelandangan dan pengemis (gepeng), di kawasan Kota Jambi masih kerap terjadi.

Kawasan keramaian dan persimpangan lampu merah menjadi lokasi strategis untuk meminta-minta, berjualan, maupun kegiatan lain.

Padahal, Perda Nomor 47/2022 dan Perwal Nomor 29/2016 dan Surat Edaran Menteri Sosial Nomor 02/2023, mengatur soal larangan mengemis, mengamen, berjualan, badut, meminta minta di jalan raya.

Pantauan Tribun di kawasan Simpang Pulai, Kota Jambi, pada Selasa (1/8) pagi masih ada aktivitas meminta-minta oleh segelintir orang dengan berbagai trik dan modus.

Fauzi (45), warga Kebon Jeruk, menuturkan kondisi seperti itu bukan hal baru dan sudah terjadi sejak lama.

Itu sudah seperti budaya bagi pelaku yang ingin mencari penghasilan dari simpati orang.

“Dari 2010 sayo di sini, sudah ado gepeng di simpang tu. Mulai dari berbagai bentuk dan modus. Bahkan mereka mungkin sudah lintas generasi,” ujarnya.

Bukan hanya di kawasan persimpangan Simpang Pulai. Aktivitas serupa ada juga di sepanjang Jalan Soemantri Brojonegoro, Kebon Jeruk, Kota Jambi.

“Kalau malam kan cukup hidup jalan di sini, mulai dari Simpang Pulai sampai Tugu Juang. Aktivitas gepeng pun semakin beragam modusnya, mulai dari meminta, manusia badut, hingga dari kalangan SAD pun ada,” tuturnya.

Pengguna jalan mengatakan keberadaan mereka tidak terlalu merugikan. Namun, terkadang keberadaannya cukup mengganggu pengendara yang berhenti di lampu merah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *