Penolakan Normalisasi Pelanggaran Konstitusi Pencawapresan Gibran

Jambitoday – Tiga pasangan capres dan cawapres Pemilu 2024 sudah di tetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang mana salah satu cawapres yang ditetapkan adalah Gibran Rakabuming Raka, putera Presiden Joko Widodo yang berpasangan dengan Prabowo Subianto. Secara legal-formal langkah Gibran Rakabuming dianggap sah oleh KPU, meskipun banyak pihak yang menilai hal itu telah mengorbankan demokrasi, merusak kepatuhan pada konstitusi dan meruntuhkan muruah Mahkamah Konstitusi.

Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno menilai pencalonan Gibran Rakabuming Raka akan memunculkan pergunjingan sepanjang masa. Menurut Adi Prayitno, secara formal tetap legitimate terpilih sebagai pasangan presiden dan wakil presiden. Tapi akan selalu jadi pergunjingan sepanjang masa soal proses pencapresannya lantaran putusan MK yang kontroversial. Hal tersebut juga di utarakan oleh Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) mengungkap soal netralitas aparatur Negara yang mana, menurutnya majunya Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres Prabowo Subianto tidak punya dampak signifikan. Meskipun demikian, posisi sebagai anak presiden dinilai jadi pertimbangan karena dengan begitu presiden kemudian punya seperangkat alat kekuasaan, militer, polisi, bahkan penyelenggara pemilu.

Beberapa saat lalu presiden juga menunjukkan kekuatan dengan mengumpulkan semua pejabat, walikota, bupati, gubernur se-Indonesia. Sehingga dibayangkan kalau pertemuan kemarin ada tawar-menawar kontrak bagi keberlanjutan masing-masing penjabat untuk lanjut di tahun selanjutnya. Maka besar kemungkinan mereka harus membayar kontribusi terhadap presiden dan salah satunya tentu adalah membuat dukungan pada Gibran Rakabuming Raka.

Ketua Setara Institute, Ismail Hasani mengungkapkan adanya upaya normalisasi pelanggaran konstitusi dalam pencalonan Gibran. Lembaga itu menyebut beberapa lembaga survei melakukan kampanye publik dengan menggambarkan mayoritas responden menganggap majunya Gibran bukan politik dinasti, sejumlah pakar hukum juga memberikan justifikasi dengan melakukan normalisasi pelanggaran konstitusi.

Saat ini normalisasi juga dilakukan oleh KPU dengan meloloskan Gibran Rakabuming Raka yang berhasil memenuhi syarat sebagai kandidat, meskipun pelanggaran etik berat melekat dalam pengambilan Putusan No. 90/PUU-XXI/2023.

Ismail Hasani menegaskan Setara Institute menolak normalisasi pelanggaran konstitusi dengan tetap mendorong publik peka dan menjadikan kontroversi Putusan 90/PUU-XXI/2023 sebagai variabel dalam menentukan pilihan dalam Pemilu nanti. Cara ini sekaligus sebagai bagian pengawasan publik agar pemilu dijalankan secara berintegritas dan adil.

Setara Institute juga mendorong penyelenggara pemilu menjadi aktor utama yang menjaga integritas pemilu sehingga tercipta keadilan elektoral (electoral justice) pada setiap tahapan penyelenggaraan pemilu. Lembaga itu juga menentang segala bentuk intervensi, intimidasi, dan netralitas artifisial yang ditunjukkan oleh beberapa pihak. Terkait netralitas, Setara Institute menilai netralitas saat ini adalah buatan bukanlah netralitas otentik. Karena di satu sisi menyerukan netralitas dan menyatakan tidak ada intervensi, tapi di sisi lain tetap membiarkan orkestrasi kandidasi, mobilisasi sumber daya, termasuk tidak melakukan upaya maksimum memastikan keadilan pemilu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *